SIKAP
ISLAM TENTANG
POLIGAMI
DAN MONOGAMI
I.
PENDAHULUAN
Sagala sesuatu didalam wujud ini diciptakan
Tuhan berpasangan. Tuhan, antara lain. Berfirman , segala sesuatu kami ciptakan
berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah (Al-Dzariyat,
49). Dan juga firman-Nya, Dan bahwasanya dialah yang menciptakan
berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan. (An-Najm, 45). Mengenai manusia,
ketentuan berpasangan itu pun dapat dilihat dalam jenis laki-laki dan
perempuan. Demikian pula dalam dunia hewan dan tumbuh-tumbuhan (flora dan
fauna). Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusian (laki-laki) seara naluriah,
disamping mempunyai keinginan terhadap anak-keturunan, harta-kekayaan dan
lain-lain, juga sangat menyukai lawan jenisnya (perempuan). Demikian pula
sebaliknya. Untuk memberikan jalan yang terbaik bagi terjadinya “perhubungan”
manusia yang berlainan jenis itu, islam menetapkan suatu ketentuan yaitu
perkawinan. Allah SWT menegasakan:
Kawinkanlah
orang-orang yans sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (untuk
kawin) dari hamba sahayamu yang laki-laki atau yang perempuan. Jika mereka
miskin maka Allah dengan karunia-Nya akan membuat mereka berkecukupan. Dan
orang-orang yang ta mampu kawin, hendaknya mereka menjaga diri, hingga Allah
dengan karunia-Nya membuat mereka berkecukupan. (Al-Nur, 32 dan 33)
Mengenai hukum perkawinan, Al-Aqqad
berpendapat, “hukum perkawinan yang baik ialah yang menjamin dan memelihara hakikat
perkawinan, yaituuntuk menghadapi segala keadaan yang terjadi atau yang mungkin
terjadi”.
Segala persoalan yang muncul dalam
kehidupan rumah tangga sangat bervariasi, dari yang kecil dan sederhana sampai
yang besar dan kompleks. Untuk melihat sejauh mana kebaikan hokum perkawinan
Islam, perlu dilihat antara lain bagaimana sikapnya mengenai poligami dan
monogami. Apakah Islam lebih condong kepada poligami atau monogami?
Menjawab pertanyaan diatas amat penting,
terutama karena masih saja ada anggapan bahwa hokum Ialam, khususnya menenai
perkawinan, tidak adil sehubungan dengan sikapnya yang membolehkan kaum lelaki
kawin dengan perempuan lebih dari satu. Akan tetapi, benarkah hukum perkawinan
islam tidak adil? Diperlukan analisis yang memedai dalam menyoroti hal ini.
Bertitik tolak dari pertanyaan diatas,
tulisan ini akan diarahkan pada pembahasan kritis dan analitis untuk mencari
jawabannya. Pembahasan akan dimulai dengan memberikan secara singkat, mengenai
pengertian, tujuan dan fungsi perkawinan. Selanjutnya akan menyoroti pertanyaan
pokok, yaitu bagaimana sikap Ialam terhadap masalah poligami dan monogami.
II.
PENGERTIAN
PERKAWINAN
Perkawinan oleh Al-Qur’an disebut dengan
kata nikah dan misaq (perjanjian). Terlepas dari arti nikah yang telah menjadi
pengertian umum, maka nikah berarti ittifaq (kesepakatan) dan mukhalathat
(percampuran). Jika orang menyebut nakaha al-matharu al-ardha berarti hujan
bercampur dengan tanah. Atau jika orang mengatakan nakaha al-da-wa’u
al-maridha, berarti bahwa obat telah meresap kedalam bagian-bagian tubuh
pasien. Jadi, perkawinan atau nikah bermakna suatu perjanjian atau kesepakatan
untuk bercampur atau bergaul dengan sebaik-baiknya antara seorang laki-laki dan
seorang perempuan dalam status suami-istri.
Secara syar’i, Imam Taqqiyuddin membuat
rumusan bahwa perkawinan adalah ‘ibaratun ‘an-ai-‘aqdi al-masyhur al-musytamili
‘ala al-arkani wa al-syuruthi (suatu terima atau ungkapan menyangkut akad
antara seorang lelaki dan seorang perempuan yang telah dikenal masyarakat
manusia, mencakup rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu).
Agaknya para ulama Hanafiyah, Malikiyah
dan Syafi’iyah, tidak berbeda dalam merumuskan ta’rif (definisi) perkawinan,
yaitu sebagai ‘aqad. Hanya saja mereka berbeda dalam memberikan konotasi
(penekanan) pada soal “pemilikan” yang diakibatkan oleh adanya ‘aqad itu. Bagi
ulama Hanafiyah, ‘aqad nikah membawa konsekuensi bahwa si suami berhak memiliki
kesenangan (milk al-mut’ah) dari istrinya. Bagi ulama Syafi’iyah, ‘aqad membawa
akibat suami memiliki kesempatan untuk melakukan wathi’ (bersetubuh)dengan
istrinya. Sedangkan menurut Malikiyah, ‘aqad membawa akibat pemilikan bagi
suami untuk mendapatkan kelezatan (taladzudz)dari istrinya.
Adapun yang dimaksud dengan rukun-rukun
perkawinan sebagai telah disinggung dalam ta’rif diatas, adalah: (1) kedua
mempelai (2) wali dari mempelai perempuan, (3) dua orang saksi yang adil
(menurut jumhur), (4) maskawin (mahr),dan (5) ijab-qabul, pada intinya, rukun
perkawinan terletak pada adanya unsur kereaan dari kedua calon pengantin,
lelaki dan perempuan, serta merasa cocok untuk mengikatakan diri dalam suatu
perkawinan. Oleh karena itu, rukun perkawinan yang juga sangat penting adalah
ijab dan qabul yang menandai adanya unsur kerelaan dan kecocokan itu.
Tetapi dalam Bidayat al-Mujtahid, mahr
atau maskawin tidaklah dihitung sebagai rukun perkawinan, namun ia, menurut
para ulama, dipandang sebagai salah satu syarat sah perkawinan, berdasarkan
dalil al-Qur’an dan hadist Nabi s.a.w.
Yang
termasuk dalam syarat-syarat perkawinan seperti dikemukakan Ahmad Nashr
al-Jundi, adalah sebagai berikut:
1.
Kedua calon
pengantin yang hendak melakukan akad itu berakal sehat, dewasa, dan merdeka.
Adanya syarat berakal sehat, berarti tidaklah sah perkawinan orang yang gila
(majnun).
2.
Adanya calon
mempelai perempuan yang, menurut ketentuan syara’, halal untuk dinikahi.
3.
Masing-masing
dari kedua calon pengantin dapat mendengar apa yang diucapkan oleh pasangannya.
4.
Perkawinan itu
disaksikan oleh saksi-saksi. Seseorang saksi perkawinan disyaratkan berakal
sehat, merdeka, telah dewasa dan beragama Islam.
5.
Kedua saksi
perkawinan itu benar-benar dapat mendengar, secara bersama-sama, apa yang
diucapkan kedua mempelai.
6.
Adanya kerelaan
dari calon mempelai perempuan. Apabila ia seorang dewasa baik ia perawan atau
janda, maka si wali tidak berhak untuk memaksanya kawin.
7.
Hendaknya ijab
dan qabul dilaksanakan dalam sati majlis.
8.
Tidak terjadi
perbedaan antara ijab di satu pihak dan qabul dipihak lain.
9.
Hendaknya
masing-masing calon suami-istri dimaklumi dengan jelas.
Itulah pengertian perkawinan, rukun-rukun
dan syarat-syaratnya. Jika kita tengok pengertian perkawinan di Indonesia,
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 1Tahun 1974, tentang
perkawinan, maka dapat dijumpai rumusan bahwa, “perkawinan ialah ikatan
lahir-batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan
tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Rumusan tersebut dalam bagian
penjelasannya, dapat dipahami bahwa sebagai Negara yang berdasarkan pancasila,
dimana sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai
hubungan erat sekali dengan agama/ kerohanian. Sehingga perkawinan bukan saja
mempunyai unsur lahir/ jasmani, tetapi unsure batin/ rohani juga mempunyai
peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia pun erat kaitannya dengan
keturunan, yang juga merupakan tujuan perkawinan. Pemeliharaan dan pendidikan
anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.
Kalau dalam Undang-Undang RI Nomor 1
tersebut telah jelas tujuan perkawinan di Indonesia, kiranya perlu dilihat
tujuan perkawinan menurut Islam.
III.
TUJUAN
PERKAWINAN
Segala sesuatu yang disyariatkan Islam
mempunyai tujuan, sekurang-kurangnya mengandung hikma tertentu, tak terkecuali
perkawinan. Tujuan perkawinan Islam tidak dapat dilepaskan dari pernyataan
Al-Qur’an, sumber ajarannya yang pertama. Al-Qur’an menegaskan bahwa diantara
tanda-tanda kekuasaan Allah SWT ialah bahwa ia menciptakan istri-istri bagi
para lelaki dan jenis mereka sendiri, agar mereka merasa tentram(sakinah).
Kemudian Allah menjadikan / menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang
(mawaddah dan rohmah) diantara mereka. Dalam hal demikian benar-benar terdapat
tanda-tanda(penelasan) bagi mereka yang mau berfikir.
Dalam bagian lain, Al-Qur’an menyatakan:
para istri adalah pakaian (libas)bagi para suami, demikian pula sebaliknya,
para suami adalah pakaian bagi istrinya.
Kehidupan yang tentram (sakinah)yang
dibalut perasaan cinta kasih dan ditopang saling pengertian diantara suami dan
istri karena baik istri maupun suami menyadari bahwa masing-masing sebagai
“pakaian” bagi pasangannya itulah yang sesungguhnya merupakan tujuan utama
disyari’atkannya perkawinan dalam islam. Suasana kehidupan yang dituju oleh
perkawinan serupa itu akan dapat dicapai dengan mudah apabila perkawinan
dibangun diatas dasar yang kokoh, antara lain, antara suami dan istri ada dalam
sekufu’ (kafa’ah).
Dalam hal kafa’ah, baik Imam Hanafi,
Maliki, Syafi’i maupun Hambali memandang penting faktor agama, sebagai unsur
yang harus diperhitungkan. Bahwa Imam Syafi’I
dan Imam Maliki lebih menekankan pentingnya unsur ketaatan dalam
beragama.
Pentingnya kafa’ah dalam perkawinan
sangat selaras dengan tujuan perkawinan di atas: suatu kehidupan suami-istri
yang betul-betul sakinah dan bahagia. Suami-istri yang sakinah dan bahagia akan
mampu mengembangkan hubungan yang intimdan penuh kemesraan. Pada gilirannya
akan melahirkan generasi pelanjut yang baik dan salih, yang akan menjadi
pemimpin orang-orang yang bertaqwa (li al-muttaqina imaman).
Jadi, melestarikan keturunan (nasl)
merupakan tujuan disyari’atkannya perkawinan. Dalam pada itu, demikian
Al-Aqqad, perkawinan disamping bertujuan melestarikan keturunan yang baik, juga
untuk mendidik jiwa manusia agar bertambah rasa kasih-sayangnya, bertambah
kelembutan jiwa dan kecintaanya. Dan akan terjadi perpaduan perasaan antara dua
jenis kelamin. Sebab antara keduanya ada perbedaan citarasa, emosi, kesanggupan
mencintai, kecakapan dan lain-lain.
Perkawinan merupakan suatu bentuk hubungan
manusia yang paling agung, yang harus dipenuhi segala syarat dan rukunya. Ia
menuntut adanya tanggung jawab timbal balik yang wajib dilaksanakan oleh kedua
belah pihak, sesuai ajaran Islam.
Mengenai hikma perkawinan sebenarnya tidak
dapat dilepaskan dari tujuannya di atas. Dan sangat berkaitan erat dengan
tujuan diciptakannya manusia dimuka bumi. Al-Jurjawi menjelaskan bahwa Tuhan
menciptakan manusia dengan tujuan memkmurkan bumi, dimana bumi dan segala isinya
diciptakan untuk kepentingan manusia. Oleh karena itu, demi kemakmuran bumi
secara lestari, kehidupan manusia sangat diperlukan sepanjang bumi masih ada.
Pelestarian keturunan manusia merupakan sesuatu yang mutlak, sehingga
eksistensi bumi ditngah-tengah alam semesta tidak menjadi sia-sia. Dan seperti
diinginkan oleh agama, pelestarian manusia secara wajar dibentuk melalui
perkawinan. Maka, demi memakmurkan bumi, perkawinan mutlak diperlukan. Ia
merupakan copa sio sene quanon (syarat mutlak) bagi kemakmuran bumi.
Lebih lanjut Al-Jurjawi menuturkan,
kehidupan manusia (baca:lelaki)tidak akn rapi, tenang dan mengasikkan, kecuali
dikelola dengan sebaik-baiknya. Itu bisa diwujudkan jika ada tangan terampil
dan professional, yaitu tangan-tangan lembut perempuan, yang memang secara
naluriah mampu mengelola rumah tangga secara baik, rapi dan wajar. Karena itu
perkainan disyari’atkan, kata al- Jurjawi, bukan hanya demi memakmurkan bumi,
tetapi tak kalah penting adalah supaya kehidupan manusia yang teratur dan rapi
dapat tercipta. Maka kehidupan perempuan disisi lelaki (suami), melalui
perkawinan sangatlah penting.
IV.
FUNGSI
PERKAWINAN
Fungsi perkawinan yang paling mendasar
adalah sebagai lembaga preventif (mani) bagi terjadinya hal-hal yang diharamkan oleh agama, yaitu
perbuatan zina (prostitusi) dan kefasikan. Seperti diketahui, manusia, dari
kenyataan tabi’at dan nalurinya, tidak stabil dalam menjaga kehormayan dan
kemuliyaanya. Perkawinan sangat berfungsi dalam menghindarkan manusia dari
prostitusi (zina) dan perbuatan-perbuatan fasik lainnya, sekaligus menjaga
kesehatan kelamin dan menghindarkan penyakit yang sangat ditakuti dewasa ini,
yaitu aids. Penyakit yang sangat menakutkan itu menyebar dengan sangat cepat
melalui hubungan dengan orang yang telah terjangkit penyakit perusak kekebalan
itu.
Jika pada kenyataanya perbuatan prostitusi
yang dilakukan oleh orang yang telah berkeluarga, bekanlah lembaga
perkawinannya yang salah, dikarenakan kurang atau tidak berfungsinya perkawinan
secara maksimal. Tentu kegagalan mengembangkan tujuan terjadinya prostitusi
itu.
Fungsi perkawinan sebagai pencegah terjadinya
perbuatan zina dan perilaku fasik lainnya, dapat difahami dari isyarat sabda
Rasulullah:
Wahai
para pemuda, barang siapa yang sudah mempunyai kemampuan diantaramu untuk
melaksanakan perkawinan, maka kawinlah, karena sesungguhnya perkawinan itu
dapat menahan(mu) dari pandangan maksiat dan menjaga farji (kehormatan) dari
berbuat zina (prostitusi, namun bagi siapa yang belum mampu, hendaklah ia
berpuasa (tahan dengan sabar) karena puasa itu dapat meredakan dorongan syahwat
(H.R. Bukhori).
Bagi mereka yang telah mampu menegakkan
tanggung jawab akibat perkawinan, baik fisik, mental, ekonomi, dan social, dan
khawatir akan terjerumus ke lembah prostitusi (khauf al-‘anat) wajib untuk
kawin.
Dalam sabda Rasulillah SAW yang lain,
sebagaimana dikutib oleh Al-Jurjawi, beliau menegaskan: “barang siapa telah
kawin berarti ia telah menjag separuh agamanya, maka hendaklah ia bertaqwa
sebaik-baiknya kepada Allah dalam hal separuh yang lain.
V.
SIKAP ISLAM
MENGENAI POLIGAMI DAN MONOGAMI
Bila diperhatikan dengan seksama uraian
pengertian, tujuan dan fungsi perkawinan dalam islam diatas, dapat dimengerti
betapa sakral dan agung perkawinan itu. Ia tidak hanya penting dalam rangka
kebahagiaan hidup manusia, tetapi juga dalam rangka lestarinya kemakmuran bumi
melalui keturunan atau generasi manusia yang dihasilkannya, yang harus
berlangsung secara terus menerus.
Dalam kaitan eksistensi perkawinan yang
sakral dan agung itu, perlu dipertanyakan: bagaimana sikap islam mengenai
poligami dan monogami?
Ayat Al-Qur’an yang dipandang berhubungan
dengan pertanyaan tersebut adalah:
Dan
jika kamu khawatir bahwa kamu tak dapat berlaku adil terhadap anak yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinlah waniya-wanita lain yang sekiranya
baik bagi kamu, dua, tiga, empat. Tetapi jika kamu khawatir bahwa kamu tidak
dapat berlaku adil, (maka kawinlah) satu orang saja. Atau budak-buda yang kamu
miliki, yang demikian itu adalah lebih baik untuk tidak berbuat aniaya.
(Al-Nisa, 3).
Iniah satu-satunya ayat Al-Qur’an yang
menerapkan poligami. Ayat tersebut jelas tidak menganjurkan orang berpoligami,
tetapi hanyalah member izin, itupun dengan syarat yang sangat ketat. Ironisnya,
ayat diatas sering dijadikan landasan isu bahwa islam merupakan agama wahyu satu-satunya
yang membolehkan poligami.
Dalam kenyataan kitab-kitab suci kaum
Yahudi dan Nasrani menunjukkan bahwa poligami tidak terlarang dalam agama
mereka. Dizaman, dahulu, poligami merupakan perbuatan yang sah dikalangan para
Nabi dan raja-raja bani israill. Mereka kawin dengn lebih seorang wanita,
bahkan mengumpulkan berpuluh-puluh istri dan hamba sahaya wanita dalam suatu
tempat. Seorang ilmuan bernamaWostermarck berkata mengenai perkawinan dalam
berbagai sejarah umat mausia, bahwa sampai pertengahan abad ke-17, gereja dan
Negara mengakui dan mensahkan poligami. Bahkan tidak jarang poligami terjadi
karena perhatian gereja lebih banyak tercurah kepada para keluarga bangsawan.
Secara historis, menurut Al-‘Aqqad pada
abad pertama masehi para pemimpin gereja menganggap pemuka agama cukup beristri
satu. Bahkan lebih baik kalau dapat membujang dan tidak kawin sama sekali.
Sikap monogami ini didorong oleh keinginan untuk mengurangi kejahatan. Jika
hidup membujang tidak mudah, maka beristri satu dianggap lebih ringan
kejahatannya yang akan dihadapinya dari pada dua atau lebih. Pada masa itu
wanita dipandang sebagai sumber kejahatan dan setan semata-mata. Banyak
diantara pemimpin gereja dan ahli agama menganggap wanita tidak memiliki jiwa
setinggi laki-laki. Pada masa itu pun, demikian Al-‘Aqqad, poligami
diperbolehkan semua agama yang diwahyukan. Kalau kemudian gereja melarang
poligami, larangan itu sama sekali bukan dengan maksud mengangkat derajat
wanita atau menghindarkannya dari prilaku poligami. Tetapi larangan itu
semata-mata untuk mengurangi, hingga sekali mungkin, kejahatan yang diakibatkan
oleh wanita.
Sebagai telah disinggung dimuka, hukum
perkawinan yang baik ialah yang bisa menjamin dan memelihara hakikat
perkawinan, yaitu untuk menghadapi segala keadaan yang terjadi atau yang
mungkin akan terjadi. Perkawinan bukanlah merupakan hubunga jasmani antara dua
jenis hewan, juga bukan hubungan rohani antara dua jenis malaikat. Perkawinan
adalah hubungan kemanusiaan antara lelaki dan wanita untuk menyongsong
kehidupan dengan segala problemanya.
Berapapun tingginya khayalan seorang
penyair, ia tidak akan mampu membuat perkawinan menjadi hubungan
puitis-romantis sepanjang hidup. Keadaan demikian memang menjadi impian setiap
orang, sehingga seola-ola hidup dialam khayal. Akan tatapi hukum dan syari’at
tidak dirancang untuk cita-cita dan impian kosong, melainkan untuk menghadapi
kenyataan-kenyataan kongktit.
Kesepakatan sepasang suami-istri untuk
saling setia dan tetap sebagai sebuah keluarga yang utuh memang merupakan
dambaan dan suatu kesempurnaan rohani. Akan tetapi, kesempurnaan rohani tidak
dapat dipaksakan oleh kekuatan hukum. Dan keutamaan disini tentu bukan dalam
arti seorang lelaki mencukupkan untuk beristri satu karena ketidakmampuannya
beristrikan dua atau tiga. Keutamaan dalam hal ini adalah jika seorang pria
sebenarnya mampu beristrikan lebih dari satu, tetapi ia tidak mau melakukannya.
Atas kemauannya sendiri ia tidak berpoligami. Jika beristri satu karena
terpaksa, itu tidak ada bedanya dengan berpoligami.
Dalam kenyataanya, ada kalanya pria
beristri satu tetapi secara diam-diam berhubungan dengan sejumlah wanita lain.
Perbuatan itu bukan saja melanggar hukum syari’at tetapi juga tatakrama
spiritual. Tidak satu pihak pun diuntungkan oleh perbuatan ini, baik laki-laki
itu, istrinya maupun masyarakatnya.
Hal lain yang bisa menghancurkan kesuucian
perkawinan ialah hubungan suami-istri yang tidak lebih dari sekedar hubungan
seks tanpa kasih sayang. Beberapa jenis hewan bahkan ada yang mengenal rasa
kasih sayangdalam hubungan perkelaminan mereka, yaitu lebih dari satu musim
beranak (procreation’s season). Hubungan ini jelas lebih baik dari pada
hubungan yang setiap saat dapat putus kareana dorongan hawa nafsu dari salah
satu pasangan suami-istri. Hukum perkawinan seperti ini yang dianut kaum
Marxis. Ini akan melahirkan kontradiksi, disatu pihak memberikan kebebasan
mutlak kepada keinginan individu tanpa memperdulikan keinginan memperoleh
keturunan, dan dilain pihak mengutamakan kepentingan masyarakat atas semua
keinginan individu. Itulah asas komunisme dan paham sosialis.
Maka jelaslah, sikap mengingkari kenyataan
dan kemaslahatan berarti menjadikan perkawinan semacam hubungan antara dua
malaikat, sekaligus berarti menjadikannya
semacam hubungan antara dua jenis hewan.
Mengenalkan hukum perkawinan diatas dasar
prensip mengingkari kenyataan dan kemaslahatan yang mempunyai dua ujung
berlawanan itu, secara asasi bertentangan dengan hukum itu sendiri. Pada
dasarnya, hukum perkawinan hanya dapat ditegakkan atas dasar kenyataan obyektif
dan dalam ruang lingkup yang seluas-luasnya: mengakui keutamaan monogami dan
tidak mtlak melarang poligami. Melarang sesuatu yang kurang sempurna akan
membuat kita terprosok kedalam kesalahan, yaitu menganggap semua orang sempurna
atau sanggup menempuh cara hidup yang sempurna.
Itulah hukum perkawinan yang ditetapkan
islam, yang mengakui monogamy lebih mendekati keadilan dan kebijakan, tetapi
bersamaan dengan itu membolehkan poligami, karena merupakan hal yang perlu
dihitungkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, tidak seorang pun
dapat mengingkari terjadinya poligami yang sesuai hukum, dan tidak seorang pun
dapat berkilah menggunakan hukum untuk bertindak diluar hukum.
Sebenarnya, agama-agama wahyu tidak
melarang poligami. Islam tidak melarang monogami dan tak mewajibkan pemeliknya,
yang mampu sekalipun untuk mempunyai istri lebih dari satu. Islam hanya
membolehkan pemelukya berpoligami dengan syarat terjaminnya keadilan bagi semua
istrinya. Kendati demikian, Islam mengakui bahwa keadilan tidak mungkin lahir
dari tabiat manusia, Al-Qur’an menegaskan:
Dan
kalian tidak akan sanggup berlaku adil terhadap istri-istri kalian, walaupun
kalian sangat ingin berbuat demikian….(Al-Nisa’. 129).
Semua orang sepakat mengatakan behwa
perkawinan antara seorang pria dengan satu istri adalah perkawinan yang ideal
dan lebih utama. Akan tetapi “perkawinan ideal” tidak selamanya dapat dialami
oleh setiap pasangan, karena sebenarnya kita tidak mungkin dapat mengatakan
bahwa setiap pria adalah suami ideal, dan setiap wanita adalah istri ideal.
Ideal dapat lahir bila perkawinan dilakukan dengan baik dan atas kemauan
sendiri, untuk memilih siapa yang dipandang baik menjadi jodohnya, siapa yang
dapat diterima, atau siapa yang lebih baik dari pada orang yang lain. Setiap
orang tentu lebih mengutamakan pilihannya sendiri daripada berhubungan dengan
banyak pria atau wanita lain, kendati ini dibolehkan oleh hukum, atau dipandang
baik oleh yang menghendakinya. Dalam kaitan itu tak berbeda antara pria dan
wanita jika mereka telah sepakat mengikat hubungan cinta-kasih dan saling
hormat-menghormati.
Tadi telah disebut bahwa perkawinan menurut
Islam bukanlah “perkawinan hewani”, karena perkawinan hewani merupakan bentuk
perkawinan paling rendah dan hina. Oleh karena itu hukum wajib untuk
mencegahnya dengan alasan apapun dan tanpa pengecualian.
Yang dimaksud dengan perkawinan hewani
adalah perkawinan yang didasarkan atas selera jasmani semata. Bila selera itu
yang berkembang pada diri suami atau istri, maka tidak lagi kemesraan diantara
mereka. Dan hubungan keduanya pun tidak akan lestari.
Sebaliknya, kita tidak mungkin memaksa
manusia untuk hidup seperti malaikat. Tetapi juga tidak dapat membiarkan orang
hidup serendah hewan. Sikap yang benar ialah diantara keduanya, dan itulah yang
ditetapkan oleh hukum Islam, yakni mengutamakan monogami serta menjernihkan
perkawinan dari selera nafsu yang bersifat semua dan sementara, dan dari
hal-hal yang menimbulkan kejemuan, seperti diisyaratkan Allah bahwa hendaknya
para suami bergaul dengan para istri mereka dengan ma’ruf (cara yang baik dan
bijaksana). Dan jika sang suami sudah tidak menyukainya, sepatutnya diingat
bahwa mungkin dalam keadaan tidak menyukai itu didalamnya Allah menjadikan
banyak kebijakan.
Islam meletakkan soal poligami dalam
proporsinya, Islam mengakui kemungkinan terjadinya poligami, atau diisyaratkan
keadaan tertentu untuk berlakunya ketentuan itu. Poligami ada sejak zaman
dahulu hingga sekarang, dan diakui dalam kehidupan manusia. Hanya saja, praktek
tersebut dapat berlangsung secara diam-diam. Dalam masyarakat yang melarang
poligami, ternyata para istri banyak yang mengetahui ada seorang atau beberapa
orang wanita laim yang menjadi gundik suaminya. Sang istri mau menerima
kenyataan itu, tetapi dengan mengimbanginya dengan perbuatan yang sama. Ia
bergaul bebas dengan istri si “fulan” yang lain. Terjadinya perbuatan seperti
itu menimbulkan pertentangan dalam bentuk saling menyalahkan dan saling
mengelabui. Akibatnya yang paling ringan ialah timbulnya perasaan cemburu dapat
beralih menjadi kepalsuan moral dan tipudaya untuk melepaskan diri dari
tanggung jawab terhadap keturunan dan keluarga.
Pada dasarnya, poligami tidak disenangi
kaum wanita. Tetapi masyarakat manakah yang dapat menjamin kepuasan bagi semua
orang bagi semua orang dan dapat menghindarkan seluruh warganya dari sesuatu
yang tidak disenangi atau tidak sesuai dengan seleranya?
Dalam kenyataan kehidupannya, wanita
banyak menemui hal yang membuatnya sedih dan marah, suatu keadaan yang tidak
mungkin diatasi oleh masyarakat maupun hukum mana pun. Akan tetapi perasaan
yang tidak menyenangkan itu ada kalanya lebih ringan jika dibandingkan dengan
sebagai kesukaran hidup lainnya. Ada kalanya wanita lebih suka dimadu dari pada
menderita kesengsaraan hidup. Sikap ini dimiliki baik oleh wanita terpelajar
yang hidup bebas dalam peradapan modern, maupun oleh oleh wanita tidak
terpelajar dikalangan bangsa-bangsa yang masih mengingkari hak-hak wanita.
Dalam tulisan Al-‘Aqqad, diantara
responden yang ditanyai pendapatnya mengenai poligami ada yang menjawabnya,
seperti dilaporkanlah Debate, sebagai berikut:
Meskipun saya percaya poligami lebih
berkenan bagi kaum pria dari pada wanita, namun hal itu saya anggap mengandung
hal-hal yang baru yang aneh. Sejak kanak-kanaknya saya mengetahui banyak wanita
yang jatuh cinta kepada bintang-bintang film pria, padahal mereka tahu bahwa
hati para bintang film itu tidak dapat mereka kuasai. Errol Flyn, misalnya,
anda tentu mengetahui begitu banyak wanita yang bersedia dimadu olehnya. Memang
benar, tidak semua pria yang mempunyai tampang segagah Errol Flyn, Victor
Matpour, Van Jhonson, atau Clark Gable, tetapi pria yang gagah dan berwajah
tampan masih banyak terdapat dimana-mana, mengapa para wanita tidak mau dimadu
oleh mereka? Banyak wanita yang hidup menyendiri setelah anak-anaknya menjadi
besar. Kian bertambah usianya makin dingin pula semangat mudanya. Tidaklah
keliru, kalau dikatakanbahwa para wanita bersedia dimadu itu menemukan tempat
hiburan dan teman berbincang, termasuk tentang pria yang mengikat mereka dengan
perkwinan. Saya menggunakan sebagian besar umur saya untuk tinggal dipinggiran
kota besar. Bila kelak saya bernasib menjadi seorang istri yang dimadu, saya
pasti akan dikecam dan disesali oleh teman-teman saya. Tetapi jika suami saya
seorang pria manis budi dan sanggup memberikan perlindungan kepada kami semua
(istri-istrinya), kecaman dan sesalan mereka itu bukan karena mereka
menyalahkan kesediaan saya dimadu, melahirkan karena mereka iri-hati dan
cemburu:
Betapapun pedihnya dimadu, itu suatu
perasaan yang lazim dalam kehidupan, apakah timbul karena akibat perkawinan
atau hal-hal yang lain. Perasaaan seperti itu tidak lebih parah daripada tidak
punya pekerjaan, hidup hina dan sengsara, dicemoohkan orang, cemburu, iri hati,
putus asa, atau malu atas perbuatan yang tidak semonoh. Itulah nasib yang
malang. Tidak ada suatu peraturan pun yang dapat mengatasi perasaan wanita atau
pria yang malang.
Dapat saja hukum melarang atau tak
membolehkan poligami. Namun, baik wanita ataupun pria, tidak dapat mengelakkan
diri dari keharusan menghadapi kehidupan, termasuk segala kesenangan dan
kesusahannya. Mereka tidak dapat mengelak untuk menerima segala sesuatu yang
tidak disukainya, atau yang dirasakan tidak memuaskan.
Sebab-sebab yang membolehkan poligami
banyak sekali. Ada yang bersumber dari cirri-ciri ilmiah, ada pula yang
bersumber dari kepantingan kehidupan social.
Menurut Maulana Muhammad Ali, kodrat alam
telah membagi sendiri-sendiri kewajiban kaum pria dan kwajiban kaum wanita.
Misalnya, seorang pria dapat menghasilkan beberapa anak sekaligus dari istri
lebih dari satu, sedangkan kaum wanita cukup memperoleh anak keturunan dari
seorang suami saja. Oleh sebab itu, kata Muhammad Ali lebih lanjut, poligami
kadang-kadang membantu kesejahteraan masyarakat dan mempertahankan kelangsungan
umat, tetapi poliandri tak berguna sedikit pun bagi manusia.
Secara alamiah, pria dapat melaksanakan
fungsinya sebagai penanam benih keturunan sepanjang tahun, sedangkan wanita
tidak dapat melakukannya selama sedang hamil, kurang-lebih 9 bulan. Pria masih
dikatakan subur (masih dapat mempunyai anak) setelah berusia 60 sampai 70
tahun. Tapi wanita jarang sekali yang dapat melahirkan anak setelah berusia 45
atau 50 tahun.
Angka-angka statistik dari berbagai bangsa
menunjukkan bahwa dimasa damai jumlah kaum wanita lebih banyak dari pada pria,
apa lagi dimsa perang.
Dalam berbagai keadaan tertentu, poligami
diperlikan untukmelestarikan kehidupan keluarga. Kemandulan seorang wanita,
atau penyakit menahun yang diidapnya, atau wanita yang telah kehilangan daya
tarik fisik ataupun mental yang akan lebih banyak menyeret terjadinya
perceraian daripada poligami. Sudah sepatutnya, istri yang demikian merelakan
suaminya melakukan poligami, bila suaminya berkehendak sebagai bukti tanggung
jawabnya (istri) dalam rangka melestarikan kehidupan keluarga dan memakmurkan
kami.
Membolehkan poligami secara terus menerus tidak
ada bahayanya. Keseimbangan alamiah antara jumlah pria dan wanita, bagaimanapun
tidak memungkinkan setiap pria mempunyai lebih dari seorang istri. Ini
mengingat kewajiban memenuhi syarat kemampuan menaggung nafkah sebagai semua
istri dan anak-anaknya.
Satu hal perlu dicatat di sini, adalah apa
yang ditulis, Maulana Muhammad Ali bahwa di Negara-negara yang melarang adanya
sistem poligami, orang yang mementingkan hawa nafsu dan mlakukan berbagai cara
untuk memuaskan nafsunya, yang dapat lebih buruk keadaanya daripada orang yang
telah menyalahgunakan sisem poligami. Orang yang menyalahgunakan sistem
poligami dapat diobati dengan mudah oleh pemerintah, tetapi keburukan-keburukan
yang dilakukan oleh orang yang menolak sistem poligami, bagi pemerintah akan
sangat sulit mengobatinya. Oleh karena itu, sekali lagi, hukum perkawinan yang
baik adalah yang bisa menjamin dan memelihara hakikat perkawinan itu sendiri,
yaitu hukum yang sanggup menghpi segala keadaan yang terjadi atau yang mungkin
akan terjadi. Hukum perkawinan seperti itu adalah hukum yang mengutamakan
sistem monogamy,tetapi pada waktu yang sama membolehkan poligami, meskipun
bukan sebagai peraturan yang harus dijalankan, tetapi sabagai suatu jalan
keluar atau “pintu darurat” bagi keadaan-keadaan tertentu dalam kehidupan rumah
tangga.
VI.
PENUTUP
Melalui surat An-Nisa ayat 3 dan ayat 129,
serta pandangan para ulama mengenai keagungan dan kesucian perkawinan, dapat
disimpulkan bahwa Islam lebih mengutamakan sistem monogami ( karena inilah yang
mendekati keadilan ), tetapi pada waktu yang sama membolehkan poligami dalam
keadaan-keadaan tertentu. Hal ini mengesahkan bahwa hukum perkawinan Islam
tidak ketat ataupun kaku, tetapi wajar atau manusiawi.
Wallahu
a’lmu bi al-shawaaaaab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar