Halaman

Senin, 26 Agustus 2013

POLIGAMI - MONOGAMI MENURUT KONSEP ISLAM


SIKAP ISLAM TENTANG
                                                    POLIGAMI DAN MONOGAMI                       
I.                 PENDAHULUAN
    Sagala sesuatu didalam wujud ini diciptakan Tuhan berpasangan. Tuhan, antara lain. Berfirman , segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat akan kebesaran Allah (Al-Dzariyat, 49). Dan juga firman-Nya, Dan bahwasanya dialah yang menciptakan berpasang-pasangan laki-laki dan perempuan. (An-Najm, 45). Mengenai manusia, ketentuan berpasangan itu pun dapat dilihat dalam jenis laki-laki dan perempuan. Demikian pula dalam dunia hewan dan tumbuh-tumbuhan (flora dan fauna). Al-Qur’an menjelaskan bahwa manusian (laki-laki) seara naluriah, disamping mempunyai keinginan terhadap anak-keturunan, harta-kekayaan dan lain-lain, juga sangat menyukai lawan jenisnya (perempuan). Demikian pula sebaliknya. Untuk memberikan jalan yang terbaik bagi terjadinya “perhubungan” manusia yang berlainan jenis itu, islam menetapkan suatu ketentuan yaitu perkawinan. Allah SWT menegasakan:

Kawinkanlah orang-orang yans sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (untuk kawin) dari hamba sahayamu yang laki-laki atau yang perempuan. Jika mereka miskin maka Allah dengan karunia-Nya akan membuat mereka berkecukupan. Dan orang-orang yang ta mampu kawin, hendaknya mereka menjaga diri, hingga Allah dengan karunia-Nya membuat mereka berkecukupan. (Al-Nur, 32 dan 33)

     Mengenai hukum perkawinan, Al-Aqqad berpendapat, “hukum perkawinan yang baik ialah yang menjamin dan memelihara hakikat perkawinan, yaituuntuk menghadapi segala keadaan yang terjadi atau yang mungkin terjadi”.
     Segala persoalan yang muncul dalam kehidupan rumah tangga sangat bervariasi, dari yang kecil dan sederhana sampai yang besar dan kompleks. Untuk melihat sejauh mana kebaikan hokum perkawinan Islam, perlu dilihat antara lain bagaimana sikapnya mengenai poligami dan monogami. Apakah Islam lebih condong kepada poligami atau monogami?
     Menjawab pertanyaan diatas amat penting, terutama karena masih saja ada anggapan bahwa hokum Ialam, khususnya menenai perkawinan, tidak adil sehubungan dengan sikapnya yang membolehkan kaum lelaki kawin dengan perempuan lebih dari satu. Akan tetapi, benarkah hukum perkawinan islam tidak adil? Diperlukan analisis yang memedai dalam menyoroti hal ini.
     Bertitik tolak dari pertanyaan diatas, tulisan ini akan diarahkan pada pembahasan kritis dan analitis untuk mencari jawabannya. Pembahasan akan dimulai dengan memberikan secara singkat, mengenai pengertian, tujuan dan fungsi perkawinan. Selanjutnya akan menyoroti pertanyaan pokok, yaitu bagaimana sikap Ialam terhadap masalah poligami dan monogami.    
II.               PENGERTIAN PERKAWINAN
     Perkawinan oleh Al-Qur’an disebut dengan kata nikah dan misaq (perjanjian). Terlepas dari arti nikah yang telah menjadi pengertian umum, maka nikah berarti ittifaq (kesepakatan) dan mukhalathat (percampuran). Jika orang menyebut nakaha al-matharu al-ardha berarti hujan bercampur dengan tanah. Atau jika orang mengatakan nakaha al-da-wa’u al-maridha, berarti bahwa obat telah meresap kedalam bagian-bagian tubuh pasien. Jadi, perkawinan atau nikah bermakna suatu perjanjian atau kesepakatan untuk bercampur atau bergaul dengan sebaik-baiknya antara seorang laki-laki dan seorang perempuan dalam status suami-istri.
      Secara syar’i, Imam Taqqiyuddin membuat rumusan bahwa perkawinan adalah ‘ibaratun ‘an-ai-‘aqdi al-masyhur al-musytamili ‘ala al-arkani wa al-syuruthi (suatu terima atau ungkapan menyangkut akad antara seorang lelaki dan seorang perempuan yang telah dikenal masyarakat manusia, mencakup rukun-rukun dan syarat-syarat tertentu).
     Agaknya para ulama Hanafiyah, Malikiyah dan Syafi’iyah, tidak berbeda dalam merumuskan ta’rif (definisi) perkawinan, yaitu sebagai ‘aqad. Hanya saja mereka berbeda dalam memberikan konotasi (penekanan) pada soal “pemilikan” yang diakibatkan oleh adanya ‘aqad itu. Bagi ulama Hanafiyah, ‘aqad nikah membawa konsekuensi bahwa si suami berhak memiliki kesenangan (milk al-mut’ah) dari istrinya. Bagi ulama Syafi’iyah, ‘aqad membawa akibat suami memiliki kesempatan untuk melakukan wathi’ (bersetubuh)dengan istrinya. Sedangkan menurut Malikiyah, ‘aqad membawa akibat pemilikan bagi suami untuk mendapatkan kelezatan (taladzudz)dari istrinya.
     Adapun yang dimaksud dengan rukun-rukun perkawinan sebagai telah disinggung dalam ta’rif diatas, adalah: (1) kedua mempelai (2) wali dari mempelai perempuan, (3) dua orang saksi yang adil (menurut jumhur), (4) maskawin (mahr),dan (5) ijab-qabul, pada intinya, rukun perkawinan terletak pada adanya unsur kereaan dari kedua calon pengantin, lelaki dan perempuan, serta merasa cocok untuk mengikatakan diri dalam suatu perkawinan. Oleh karena itu, rukun perkawinan yang juga sangat penting adalah ijab dan qabul yang menandai adanya unsur kerelaan dan kecocokan itu.
     Tetapi dalam Bidayat al-Mujtahid, mahr atau maskawin tidaklah dihitung sebagai rukun perkawinan, namun ia, menurut para ulama, dipandang sebagai salah satu syarat sah perkawinan, berdasarkan dalil al-Qur’an dan hadist Nabi s.a.w.
     Yang  termasuk dalam syarat-syarat perkawinan seperti dikemukakan Ahmad Nashr al-Jundi, adalah sebagai berikut:
1.     Kedua calon pengantin yang hendak melakukan akad itu berakal sehat, dewasa, dan merdeka. Adanya syarat berakal sehat, berarti tidaklah sah perkawinan orang yang gila (majnun).
2.     Adanya calon mempelai perempuan yang, menurut ketentuan syara’, halal untuk dinikahi.
3.     Masing-masing dari kedua calon pengantin dapat mendengar apa yang diucapkan oleh pasangannya.
4.     Perkawinan itu disaksikan oleh saksi-saksi. Seseorang saksi perkawinan disyaratkan berakal sehat, merdeka, telah dewasa dan beragama Islam.
5.     Kedua saksi perkawinan itu benar-benar dapat mendengar, secara bersama-sama, apa yang diucapkan kedua mempelai.
6.     Adanya kerelaan dari calon mempelai perempuan. Apabila ia seorang dewasa baik ia perawan atau janda, maka si wali tidak berhak untuk memaksanya kawin.
7.     Hendaknya ijab dan qabul dilaksanakan dalam sati majlis.
8.     Tidak terjadi perbedaan antara ijab di satu pihak dan qabul dipihak lain.
9.     Hendaknya masing-masing calon suami-istri dimaklumi dengan jelas.

      Itulah pengertian perkawinan, rukun-rukun dan syarat-syaratnya. Jika kita tengok pengertian perkawinan di Indonesia, sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang RI Nomor 1Tahun 1974, tentang perkawinan, maka dapat dijumpai rumusan bahwa, “perkawinan ialah ikatan lahir-batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”.
      Rumusan tersebut dalam bagian penjelasannya, dapat dipahami bahwa sebagai Negara yang berdasarkan pancasila, dimana sila pertamanya Ketuhanan Yang Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan erat sekali dengan agama/ kerohanian. Sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/ jasmani, tetapi unsure batin/ rohani juga mempunyai peranan yang penting. Membentuk keluarga yang bahagia pun erat kaitannya dengan keturunan, yang juga merupakan tujuan perkawinan. Pemeliharaan dan pendidikan anak menjadi hak dan kewajiban orang tua.
     Kalau dalam Undang-Undang RI Nomor 1 tersebut telah jelas tujuan perkawinan di Indonesia, kiranya perlu dilihat tujuan perkawinan menurut Islam.

III.             TUJUAN PERKAWINAN
         Segala sesuatu yang disyariatkan Islam mempunyai tujuan, sekurang-kurangnya mengandung hikma tertentu, tak terkecuali perkawinan. Tujuan perkawinan Islam tidak dapat dilepaskan dari pernyataan Al-Qur’an, sumber ajarannya yang pertama. Al-Qur’an menegaskan bahwa diantara tanda-tanda kekuasaan Allah SWT ialah bahwa ia menciptakan istri-istri bagi para lelaki dan jenis mereka sendiri, agar mereka merasa tentram(sakinah). Kemudian Allah menjadikan / menumbuhkan perasaan cinta dan kasih sayang (mawaddah dan rohmah) diantara mereka. Dalam hal demikian benar-benar terdapat tanda-tanda(penelasan) bagi mereka yang mau berfikir.
     Dalam bagian lain, Al-Qur’an menyatakan: para istri adalah pakaian (libas)bagi para suami, demikian pula sebaliknya, para suami adalah pakaian bagi istrinya.
     Kehidupan yang tentram (sakinah)yang dibalut perasaan cinta kasih dan ditopang saling pengertian diantara suami dan istri karena baik istri maupun suami menyadari bahwa masing-masing sebagai “pakaian” bagi pasangannya itulah yang sesungguhnya merupakan tujuan utama disyari’atkannya perkawinan dalam islam. Suasana kehidupan yang dituju oleh perkawinan serupa itu akan dapat dicapai dengan mudah apabila perkawinan dibangun diatas dasar yang kokoh, antara lain, antara suami dan istri ada dalam sekufu’ (kafa’ah).
     Dalam hal kafa’ah, baik Imam Hanafi, Maliki, Syafi’i maupun Hambali memandang penting faktor agama, sebagai unsur yang harus diperhitungkan. Bahwa Imam Syafi’I  dan Imam Maliki lebih menekankan pentingnya unsur ketaatan dalam beragama.
      Pentingnya kafa’ah dalam perkawinan sangat selaras dengan tujuan perkawinan di atas: suatu kehidupan suami-istri yang betul-betul sakinah dan bahagia. Suami-istri yang sakinah dan bahagia akan mampu mengembangkan hubungan yang intimdan penuh kemesraan. Pada gilirannya akan melahirkan generasi pelanjut yang baik dan salih, yang akan menjadi pemimpin orang-orang yang bertaqwa (li al-muttaqina imaman).
      Jadi, melestarikan keturunan (nasl) merupakan tujuan disyari’atkannya perkawinan. Dalam pada itu, demikian Al-Aqqad, perkawinan disamping bertujuan melestarikan keturunan yang baik, juga untuk mendidik jiwa manusia agar bertambah rasa kasih-sayangnya, bertambah kelembutan jiwa dan kecintaanya. Dan akan terjadi perpaduan perasaan antara dua jenis kelamin. Sebab antara keduanya ada perbedaan citarasa, emosi, kesanggupan mencintai, kecakapan dan lain-lain.
    Perkawinan merupakan suatu bentuk hubungan manusia yang paling agung, yang harus dipenuhi segala syarat dan rukunya. Ia menuntut adanya tanggung jawab timbal balik yang wajib dilaksanakan oleh kedua belah pihak, sesuai ajaran Islam.
    Mengenai hikma perkawinan sebenarnya tidak dapat dilepaskan dari tujuannya di atas. Dan sangat berkaitan erat dengan tujuan diciptakannya manusia dimuka bumi. Al-Jurjawi menjelaskan bahwa Tuhan menciptakan manusia dengan tujuan memkmurkan bumi, dimana bumi dan segala isinya diciptakan untuk kepentingan manusia. Oleh karena itu, demi kemakmuran bumi secara lestari, kehidupan manusia sangat diperlukan sepanjang bumi masih ada. Pelestarian keturunan manusia merupakan sesuatu yang mutlak, sehingga eksistensi bumi ditngah-tengah alam semesta tidak menjadi sia-sia. Dan seperti diinginkan oleh agama, pelestarian manusia secara wajar dibentuk melalui perkawinan. Maka, demi memakmurkan bumi, perkawinan mutlak diperlukan. Ia merupakan copa sio sene quanon (syarat mutlak) bagi kemakmuran bumi.  
     Lebih lanjut Al-Jurjawi menuturkan, kehidupan manusia (baca:lelaki)tidak akn rapi, tenang dan mengasikkan, kecuali dikelola dengan sebaik-baiknya. Itu bisa diwujudkan jika ada tangan terampil dan professional, yaitu tangan-tangan lembut perempuan, yang memang secara naluriah mampu mengelola rumah tangga secara baik, rapi dan wajar. Karena itu perkainan disyari’atkan, kata al- Jurjawi, bukan hanya demi memakmurkan bumi, tetapi tak kalah penting adalah supaya kehidupan manusia yang teratur dan rapi dapat tercipta. Maka kehidupan perempuan disisi lelaki (suami), melalui perkawinan sangatlah penting.

IV.            FUNGSI PERKAWINAN
     Fungsi perkawinan yang paling mendasar adalah sebagai lembaga preventif (mani) bagi terjadinya  hal-hal yang diharamkan oleh agama, yaitu perbuatan zina (prostitusi) dan kefasikan. Seperti diketahui, manusia, dari kenyataan tabi’at dan nalurinya, tidak stabil dalam menjaga kehormayan dan kemuliyaanya. Perkawinan sangat berfungsi dalam menghindarkan manusia dari prostitusi (zina) dan perbuatan-perbuatan fasik lainnya, sekaligus menjaga kesehatan kelamin dan menghindarkan penyakit yang sangat ditakuti dewasa ini, yaitu aids. Penyakit yang sangat menakutkan itu menyebar dengan sangat cepat melalui hubungan dengan orang yang telah terjangkit penyakit perusak kekebalan itu.
    Jika pada kenyataanya perbuatan prostitusi yang dilakukan oleh orang yang telah berkeluarga, bekanlah lembaga perkawinannya yang salah, dikarenakan kurang atau tidak berfungsinya perkawinan secara maksimal. Tentu kegagalan mengembangkan tujuan terjadinya prostitusi itu.
     Fungsi perkawinan sebagai pencegah terjadinya perbuatan zina dan perilaku fasik lainnya, dapat difahami dari isyarat sabda Rasulullah:



Wahai para pemuda, barang siapa yang sudah mempunyai kemampuan diantaramu untuk melaksanakan perkawinan, maka kawinlah, karena sesungguhnya perkawinan itu dapat menahan(mu) dari pandangan maksiat dan menjaga farji (kehormatan) dari berbuat zina (prostitusi, namun bagi siapa yang belum mampu, hendaklah ia berpuasa (tahan dengan sabar) karena puasa itu dapat meredakan dorongan syahwat (H.R. Bukhori).

     Bagi mereka yang telah mampu menegakkan tanggung jawab akibat perkawinan, baik fisik, mental, ekonomi, dan social, dan khawatir akan terjerumus ke lembah prostitusi (khauf al-‘anat) wajib untuk kawin.
     Dalam sabda Rasulillah SAW yang lain, sebagaimana dikutib oleh Al-Jurjawi, beliau menegaskan: “barang siapa telah kawin berarti ia telah menjag separuh agamanya, maka hendaklah ia bertaqwa sebaik-baiknya kepada Allah dalam hal separuh yang lain.

V.              SIKAP ISLAM MENGENAI POLIGAMI DAN MONOGAMI
     Bila diperhatikan dengan seksama uraian pengertian, tujuan dan fungsi perkawinan dalam islam diatas, dapat dimengerti betapa sakral dan agung perkawinan itu. Ia tidak hanya penting dalam rangka kebahagiaan hidup manusia, tetapi juga dalam rangka lestarinya kemakmuran bumi melalui keturunan atau generasi manusia yang dihasilkannya, yang harus berlangsung secara terus menerus.
     Dalam kaitan eksistensi perkawinan yang sakral dan agung itu, perlu dipertanyakan: bagaimana sikap islam mengenai poligami dan monogami?
     Ayat Al-Qur’an yang dipandang berhubungan dengan pertanyaan tersebut adalah:

Dan jika kamu khawatir bahwa kamu tak dapat berlaku adil terhadap anak yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinlah waniya-wanita lain yang sekiranya baik bagi kamu, dua, tiga, empat. Tetapi jika kamu khawatir bahwa kamu tidak dapat berlaku adil, (maka kawinlah) satu orang saja. Atau budak-buda yang kamu miliki, yang demikian itu adalah lebih baik untuk tidak berbuat aniaya. (Al-Nisa, 3).

     Iniah satu-satunya ayat Al-Qur’an yang menerapkan poligami. Ayat tersebut jelas tidak menganjurkan orang berpoligami, tetapi hanyalah member izin, itupun dengan syarat yang sangat ketat. Ironisnya, ayat diatas sering dijadikan landasan isu bahwa islam merupakan agama wahyu satu-satunya yang membolehkan poligami.
    Dalam kenyataan kitab-kitab suci kaum Yahudi dan Nasrani menunjukkan bahwa poligami tidak terlarang dalam agama mereka. Dizaman, dahulu, poligami merupakan perbuatan yang sah dikalangan para Nabi dan raja-raja bani israill. Mereka kawin dengn lebih seorang wanita, bahkan mengumpulkan berpuluh-puluh istri dan hamba sahaya wanita dalam suatu tempat. Seorang ilmuan bernamaWostermarck berkata mengenai perkawinan dalam berbagai sejarah umat mausia, bahwa sampai pertengahan abad ke-17, gereja dan Negara mengakui dan mensahkan poligami. Bahkan tidak jarang poligami terjadi karena perhatian gereja lebih banyak tercurah kepada para keluarga bangsawan.
     Secara historis, menurut Al-‘Aqqad pada abad pertama masehi para pemimpin gereja menganggap pemuka agama cukup beristri satu. Bahkan lebih baik kalau dapat membujang dan tidak kawin sama sekali. Sikap monogami ini didorong oleh keinginan untuk mengurangi kejahatan. Jika hidup membujang tidak mudah, maka beristri satu dianggap lebih ringan kejahatannya yang akan dihadapinya dari pada dua atau lebih. Pada masa itu wanita dipandang sebagai sumber kejahatan dan setan semata-mata. Banyak diantara pemimpin gereja dan ahli agama menganggap wanita tidak memiliki jiwa setinggi laki-laki. Pada masa itu pun, demikian Al-‘Aqqad, poligami diperbolehkan semua agama yang diwahyukan. Kalau kemudian gereja melarang poligami, larangan itu sama sekali bukan dengan maksud mengangkat derajat wanita atau menghindarkannya dari prilaku poligami. Tetapi larangan itu semata-mata untuk mengurangi, hingga sekali mungkin, kejahatan yang diakibatkan oleh wanita.
    Sebagai telah disinggung dimuka, hukum perkawinan yang baik ialah yang bisa menjamin dan memelihara hakikat perkawinan, yaitu untuk menghadapi segala keadaan yang terjadi atau yang mungkin akan terjadi. Perkawinan bukanlah merupakan hubunga jasmani antara dua jenis hewan, juga bukan hubungan rohani antara dua jenis malaikat. Perkawinan adalah hubungan kemanusiaan antara lelaki dan wanita untuk menyongsong kehidupan dengan segala problemanya.
    Berapapun tingginya khayalan seorang penyair, ia tidak akan mampu membuat perkawinan menjadi hubungan puitis-romantis sepanjang hidup. Keadaan demikian memang menjadi impian setiap orang, sehingga seola-ola hidup dialam khayal. Akan tatapi hukum dan syari’at tidak dirancang untuk cita-cita dan impian kosong, melainkan untuk menghadapi kenyataan-kenyataan kongktit.
   Kesepakatan sepasang suami-istri untuk saling setia dan tetap sebagai sebuah keluarga yang utuh memang merupakan dambaan dan suatu kesempurnaan rohani. Akan tetapi, kesempurnaan rohani tidak dapat dipaksakan oleh kekuatan hukum. Dan keutamaan disini tentu bukan dalam arti seorang lelaki mencukupkan untuk beristri satu karena ketidakmampuannya beristrikan dua atau tiga. Keutamaan dalam hal ini adalah jika seorang pria sebenarnya mampu beristrikan lebih dari satu, tetapi ia tidak mau melakukannya. Atas kemauannya sendiri ia tidak berpoligami. Jika beristri satu karena terpaksa, itu tidak ada bedanya dengan berpoligami.
    Dalam kenyataanya, ada kalanya pria beristri satu tetapi secara diam-diam berhubungan dengan sejumlah wanita lain. Perbuatan itu bukan saja melanggar hukum syari’at tetapi juga tatakrama spiritual. Tidak satu pihak pun diuntungkan oleh perbuatan ini, baik laki-laki itu, istrinya maupun masyarakatnya.
    Hal lain yang bisa menghancurkan kesuucian perkawinan ialah hubungan suami-istri yang tidak lebih dari sekedar hubungan seks tanpa kasih sayang. Beberapa jenis hewan bahkan ada yang mengenal rasa kasih sayangdalam hubungan perkelaminan mereka, yaitu lebih dari satu musim beranak (procreation’s season). Hubungan ini jelas lebih baik dari pada hubungan yang setiap saat dapat putus kareana dorongan hawa nafsu dari salah satu pasangan suami-istri. Hukum perkawinan seperti ini yang dianut kaum Marxis. Ini akan melahirkan kontradiksi, disatu pihak memberikan kebebasan mutlak kepada keinginan individu tanpa memperdulikan keinginan memperoleh keturunan, dan dilain pihak mengutamakan kepentingan masyarakat atas semua keinginan individu. Itulah asas komunisme dan paham sosialis.
     Maka jelaslah, sikap mengingkari kenyataan dan kemaslahatan berarti menjadikan perkawinan semacam hubungan antara dua malaikat, sekaligus berarti menjadikannya  semacam hubungan antara dua jenis hewan.
      Mengenalkan hukum perkawinan diatas dasar prensip mengingkari kenyataan dan kemaslahatan yang mempunyai dua ujung berlawanan itu, secara asasi bertentangan dengan hukum itu sendiri. Pada dasarnya, hukum perkawinan hanya dapat ditegakkan atas dasar kenyataan obyektif dan dalam ruang lingkup yang seluas-luasnya: mengakui keutamaan monogami dan tidak mtlak melarang poligami. Melarang sesuatu yang kurang sempurna akan membuat kita terprosok kedalam kesalahan, yaitu menganggap semua orang sempurna atau sanggup menempuh cara hidup yang sempurna.
    Itulah hukum perkawinan yang ditetapkan islam, yang mengakui monogamy lebih mendekati keadilan dan kebijakan, tetapi bersamaan dengan itu membolehkan poligami, karena merupakan hal yang perlu dihitungkan dalam kehidupan masyarakat. Dengan demikian, tidak seorang pun dapat mengingkari terjadinya poligami yang sesuai hukum, dan tidak seorang pun dapat berkilah menggunakan hukum untuk bertindak diluar hukum.
    Sebenarnya, agama-agama wahyu tidak melarang poligami. Islam tidak melarang monogami dan tak mewajibkan pemeliknya, yang mampu sekalipun untuk mempunyai istri lebih dari satu. Islam hanya membolehkan pemelukya berpoligami dengan syarat terjaminnya keadilan bagi semua istrinya. Kendati demikian, Islam mengakui bahwa keadilan tidak mungkin lahir dari tabiat manusia, Al-Qur’an menegaskan:

Dan kalian tidak akan sanggup berlaku adil terhadap istri-istri kalian, walaupun kalian sangat ingin berbuat demikian….(Al-Nisa’. 129).

  Semua orang sepakat mengatakan behwa perkawinan antara seorang pria dengan satu istri adalah perkawinan yang ideal dan lebih utama. Akan tetapi “perkawinan ideal” tidak selamanya dapat dialami oleh setiap pasangan, karena sebenarnya kita tidak mungkin dapat mengatakan bahwa setiap pria adalah suami ideal, dan setiap wanita adalah istri ideal. Ideal dapat lahir bila perkawinan dilakukan dengan baik dan atas kemauan sendiri, untuk memilih siapa yang dipandang baik menjadi jodohnya, siapa yang dapat diterima, atau siapa yang lebih baik dari pada orang yang lain. Setiap orang tentu lebih mengutamakan pilihannya sendiri daripada berhubungan dengan banyak pria atau wanita lain, kendati ini dibolehkan oleh hukum, atau dipandang baik oleh yang menghendakinya. Dalam kaitan itu tak berbeda antara pria dan wanita jika mereka telah sepakat mengikat hubungan cinta-kasih dan saling hormat-menghormati.
    Tadi telah disebut bahwa perkawinan menurut Islam bukanlah “perkawinan hewani”, karena perkawinan hewani merupakan bentuk perkawinan paling rendah dan hina. Oleh karena itu hukum wajib untuk mencegahnya dengan alasan apapun dan tanpa pengecualian.
    Yang dimaksud dengan perkawinan hewani adalah perkawinan yang didasarkan atas selera jasmani semata. Bila selera itu yang berkembang pada diri suami atau istri, maka tidak lagi kemesraan diantara mereka. Dan hubungan keduanya pun tidak akan lestari.
    Sebaliknya, kita tidak mungkin memaksa manusia untuk hidup seperti malaikat. Tetapi juga tidak dapat membiarkan orang hidup serendah hewan. Sikap yang benar ialah diantara keduanya, dan itulah yang ditetapkan oleh hukum Islam, yakni mengutamakan monogami serta menjernihkan perkawinan dari selera nafsu yang bersifat semua dan sementara, dan dari hal-hal yang menimbulkan kejemuan, seperti diisyaratkan Allah bahwa hendaknya para suami bergaul dengan para istri mereka dengan ma’ruf (cara yang baik dan bijaksana). Dan jika sang suami sudah tidak menyukainya, sepatutnya diingat bahwa mungkin dalam keadaan tidak menyukai itu didalamnya Allah menjadikan banyak kebijakan.
   Islam meletakkan soal poligami dalam proporsinya, Islam mengakui kemungkinan terjadinya poligami, atau diisyaratkan keadaan tertentu untuk berlakunya ketentuan itu. Poligami ada sejak zaman dahulu hingga sekarang, dan diakui dalam kehidupan manusia. Hanya saja, praktek tersebut dapat berlangsung secara diam-diam. Dalam masyarakat yang melarang poligami, ternyata para istri banyak yang mengetahui ada seorang atau beberapa orang wanita laim yang menjadi gundik suaminya. Sang istri mau menerima kenyataan itu, tetapi dengan mengimbanginya dengan perbuatan yang sama. Ia bergaul bebas dengan istri si “fulan” yang lain. Terjadinya perbuatan seperti itu menimbulkan pertentangan dalam bentuk saling menyalahkan dan saling mengelabui. Akibatnya yang paling ringan ialah timbulnya perasaan cemburu dapat beralih menjadi kepalsuan moral dan tipudaya untuk melepaskan diri dari tanggung jawab terhadap keturunan dan keluarga.
    Pada dasarnya, poligami tidak disenangi kaum wanita. Tetapi masyarakat manakah yang dapat menjamin kepuasan bagi semua orang bagi semua orang dan dapat menghindarkan seluruh warganya dari sesuatu yang tidak disenangi atau tidak sesuai dengan seleranya?
     Dalam kenyataan kehidupannya, wanita banyak menemui hal yang membuatnya sedih dan marah, suatu keadaan yang tidak mungkin diatasi oleh masyarakat maupun hukum mana pun. Akan tetapi perasaan yang tidak menyenangkan itu ada kalanya lebih ringan jika dibandingkan dengan sebagai kesukaran hidup lainnya. Ada kalanya wanita lebih suka dimadu dari pada menderita kesengsaraan hidup. Sikap ini dimiliki baik oleh wanita terpelajar yang hidup bebas dalam peradapan modern, maupun oleh oleh wanita tidak terpelajar dikalangan bangsa-bangsa yang masih mengingkari hak-hak wanita.
     Dalam tulisan Al-‘Aqqad, diantara responden yang ditanyai pendapatnya mengenai poligami ada yang menjawabnya, seperti dilaporkanlah Debate, sebagai berikut:
    Meskipun saya percaya poligami lebih berkenan bagi kaum pria dari pada wanita, namun hal itu saya anggap mengandung hal-hal yang baru yang aneh. Sejak kanak-kanaknya saya mengetahui banyak wanita yang jatuh cinta kepada bintang-bintang film pria, padahal mereka tahu bahwa hati para bintang film itu tidak dapat mereka kuasai. Errol Flyn, misalnya, anda tentu mengetahui begitu banyak wanita yang bersedia dimadu olehnya. Memang benar, tidak semua pria yang mempunyai tampang segagah Errol Flyn, Victor Matpour, Van Jhonson, atau Clark Gable, tetapi pria yang gagah dan berwajah tampan masih banyak terdapat dimana-mana, mengapa para wanita tidak mau dimadu oleh mereka? Banyak wanita yang hidup menyendiri setelah anak-anaknya menjadi besar. Kian bertambah usianya makin dingin pula semangat mudanya. Tidaklah keliru, kalau dikatakanbahwa para wanita bersedia dimadu itu menemukan tempat hiburan dan teman berbincang, termasuk tentang pria yang mengikat mereka dengan perkwinan. Saya menggunakan sebagian besar umur saya untuk tinggal dipinggiran kota besar. Bila kelak saya bernasib menjadi seorang istri yang dimadu, saya pasti akan dikecam dan disesali oleh teman-teman saya. Tetapi jika suami saya seorang pria manis budi dan sanggup memberikan perlindungan kepada kami semua (istri-istrinya), kecaman dan sesalan mereka itu bukan karena mereka menyalahkan kesediaan saya dimadu, melahirkan karena mereka iri-hati dan cemburu:
    Betapapun pedihnya dimadu, itu suatu perasaan yang lazim dalam kehidupan, apakah timbul karena akibat perkawinan atau hal-hal yang lain. Perasaaan seperti itu tidak lebih parah daripada tidak punya pekerjaan, hidup hina dan sengsara, dicemoohkan orang, cemburu, iri hati, putus asa, atau malu atas perbuatan yang tidak semonoh. Itulah nasib yang malang. Tidak ada suatu peraturan pun yang dapat mengatasi perasaan wanita atau pria yang malang.
   Dapat saja hukum melarang atau tak membolehkan poligami. Namun, baik wanita ataupun pria, tidak dapat mengelakkan diri dari keharusan menghadapi kehidupan, termasuk segala kesenangan dan kesusahannya. Mereka tidak dapat mengelak untuk menerima segala sesuatu yang tidak disukainya, atau yang dirasakan tidak memuaskan.
    Sebab-sebab yang membolehkan poligami banyak sekali. Ada yang bersumber dari cirri-ciri ilmiah, ada pula yang bersumber dari kepantingan kehidupan social.
    Menurut Maulana Muhammad Ali, kodrat alam telah membagi sendiri-sendiri kewajiban kaum pria dan kwajiban kaum wanita. Misalnya, seorang pria dapat menghasilkan beberapa anak sekaligus dari istri lebih dari satu, sedangkan kaum wanita cukup memperoleh anak keturunan dari seorang suami saja. Oleh sebab itu, kata Muhammad Ali lebih lanjut, poligami kadang-kadang membantu kesejahteraan masyarakat dan mempertahankan kelangsungan umat, tetapi poliandri tak berguna sedikit pun bagi manusia.
    Secara alamiah, pria dapat melaksanakan fungsinya sebagai penanam benih keturunan sepanjang tahun, sedangkan wanita tidak dapat melakukannya selama sedang hamil, kurang-lebih 9 bulan. Pria masih dikatakan subur (masih dapat mempunyai anak) setelah berusia 60 sampai 70 tahun. Tapi wanita jarang sekali yang dapat melahirkan anak setelah berusia 45 atau 50 tahun.
    Angka-angka statistik dari berbagai bangsa menunjukkan bahwa dimasa damai jumlah kaum wanita lebih banyak dari pada pria, apa lagi dimsa perang.
   Dalam berbagai keadaan tertentu, poligami diperlikan untukmelestarikan kehidupan keluarga. Kemandulan seorang wanita, atau penyakit menahun yang diidapnya, atau wanita yang telah kehilangan daya tarik fisik ataupun mental yang akan lebih banyak menyeret terjadinya perceraian daripada poligami. Sudah sepatutnya, istri yang demikian merelakan suaminya melakukan poligami, bila suaminya berkehendak sebagai bukti tanggung jawabnya (istri) dalam rangka melestarikan kehidupan keluarga dan memakmurkan kami.
    Membolehkan poligami secara terus menerus tidak ada bahayanya. Keseimbangan alamiah antara jumlah pria dan wanita, bagaimanapun tidak memungkinkan setiap pria mempunyai lebih dari seorang istri. Ini mengingat kewajiban memenuhi syarat kemampuan menaggung nafkah sebagai semua istri dan anak-anaknya.
   Satu hal perlu dicatat di sini, adalah apa yang ditulis, Maulana Muhammad Ali bahwa di Negara-negara yang melarang adanya sistem poligami, orang yang mementingkan hawa nafsu dan mlakukan berbagai cara untuk memuaskan nafsunya, yang dapat lebih buruk keadaanya daripada orang yang telah menyalahgunakan sisem poligami. Orang yang menyalahgunakan sistem poligami dapat diobati dengan mudah oleh pemerintah, tetapi keburukan-keburukan yang dilakukan oleh orang yang menolak sistem poligami, bagi pemerintah akan sangat sulit mengobatinya. Oleh karena itu, sekali lagi, hukum perkawinan yang baik adalah yang bisa menjamin dan memelihara hakikat perkawinan itu sendiri, yaitu hukum yang sanggup menghpi segala keadaan yang terjadi atau yang mungkin akan terjadi. Hukum perkawinan seperti itu adalah hukum yang mengutamakan sistem monogamy,tetapi pada waktu yang sama membolehkan poligami, meskipun bukan sebagai peraturan yang harus dijalankan, tetapi sabagai suatu jalan keluar atau “pintu darurat” bagi keadaan-keadaan tertentu dalam kehidupan rumah tangga.




VI.            PENUTUP
   Melalui surat An-Nisa ayat 3 dan ayat 129, serta pandangan para ulama mengenai keagungan dan kesucian perkawinan, dapat disimpulkan bahwa Islam lebih mengutamakan sistem monogami ( karena inilah yang mendekati keadilan ), tetapi pada waktu yang sama membolehkan poligami dalam keadaan-keadaan tertentu. Hal ini mengesahkan bahwa hukum perkawinan Islam tidak ketat ataupun kaku, tetapi wajar atau manusiawi.

Wallahu a’lmu bi al-shawaaaaab.  
             


Tidak ada komentar:

Posting Komentar